Boyolali — Jogja Cuma Rp 15.000,00

Fanya Tarissa Anindita
11 min readDec 2, 2020

--

“Bismi-llāhi ar-raḥmāni ar-raḥīm. Wal-’aṣr, innal-insāna lafī khusr, illallażīna āmanụ wa ‘amiluṣ-ṣāliḥāti wa tawāṣau bil-ḥaqqi wa tawāṣau biṣ-ṣabr.”

“Yuk, diakhiri dengan mengucapkan „Shadaqallahul-’adzim‟,” seru Ustaz Alif kepada kelima belas anak-anak usia 10–12 tahun yang beliau ajar mengaji setiap hari Jumat sore dan Sabtu pagi di Masjid Baitul Ilmi di samping rumahnya. Perintah beliau tersebut, tanpa ragu, langsung disusul dengan seruan serentak anak-anak yang sudah tak sabar pulang untuk bermain layangan, sepakbola, atau bersepeda di lapangan desa Jatirejo Sabtu pagi itu.

Tidak seperti biasanya, Ustaz Alif mengucap syukur atas perginya anak-anak yang selalu secepat kilat sehabis merapikan Al-Qur’an berikut kalam warna-warninya dan meneriakkan terima kasih serta salam pada Ustaz Alif. Tak lama setelah anak-anak pergi, Ustaz Alif perlahan bangkit dari duduknya dan berjalan keluar melewati serambi masjid. Walaupun tubuhnya sedikit bungkuk, kedua kakinya masih kuat untuk membawa beliau berjalan pulang ke rumah sederhananya yang berjarak hanya 30 kaki dari Baitul Ilmi seperti biasanya.

Sesampainya di rumah, beliau duduk di tepi ranjang di kamarnya untuk memeriksa ponsel pintarnya. Beliau memeriksa apakah pesannya pagi ini sudah dibalas oleh Rini.

“Assalamualaikum, nak. Bapak hari ini Insya Allah berangkat ke Yogya. Sudah lama tidak bertemu kamu, Anto, dan cucu-cucu. Jam 10 Bapak berangkat, ya. Nanti diantar ke terminal sama Mas Yani. Wassalam.”

Demikian bunyi pesan yang tidak terbalas sejak pukul 6 pagi tepat setelah beliau memberi pakan ayam-ayam yang dirawatnya hingga saat ini, pukul 9 lewat 40 menit. Sekilas Ustaz Alif membuka kembali pesan-pesannya pada Rini yang sudah tidak pernah terbalas sejak awal tahun ini — pesan-pesan singkat yang menanyakan kabar anak dan cucu-cucu yang terakhir ditemuinya hari ini dua tahun lalu, tepat saat istrinya pulang ke Rahmatullah. Beliau menggulirkan lebih jauh deretan pesan-pesan terkirim dari ponselnya kemudian membuka pesannya pada hari Sabtu, 30 Januari 2016 yang berbunyi,

“Assalamualaikum, nduk. Bagaimana kabar keluarga di sana? Semoga Rini, anak-anak, dan Mas Anto sehat-sehat terus, ya, nduk. Nduk, Bapak boleh pinjam uang 150 ribu dulu? Kandang yang lama sudah rusak, ndak bisa diperbaiki lagi. Harus buat baru, nduk. Wassalam.”

Pesan tersebut masih sempat dibalas singkat oleh Rini.

“Waalaikumsalam. Bulan depan Rini sama anak-anak ke kampung aja, Pak, sekalian bawa uangnya. Wassalam.”

Namun, Ustaz Alif tidak perlu repot-repot pergi ke Jogja hari ini jika janji Rini bulan Januari lalu sudah dipenuhinya. Ustaz Alif menghembuskan napas panjang dan segera menyelipkan uang sejumlah Rp 250.000,00 yang diambil dari laci kecil di almari reyotnya ke dalam dompet kecilnya — rupiah terakhir, setidaknya, hingga akhir bulan Agustus. Beliau lalu berdiri mengambil tas jinjing berukuran sedang yang sudah diisinya dengan beberapa pasang pakaian, alat mandi, Qur‟an kecil milik almarhumah istrinya, dan secarik kertas bertuliskan alamat yang ditinggalkan Rini untuknya. Beliau lalu menyelipkan dompetnya ke dalam tas dan berjalan keluar kamar. Benar saja, Mas Yani sudah mendekati pintu rumah saat Ustaz Alif muncul dari daun pintu.

“Assalamualaikum.. berangkat sekarang, Ustaz?” tanya Mas Yani, anak tetangga dekat Ustaz Alif. Yang bersangkutan mengiyakan dan Mas Yani segera menawarkan bantuan untuk membawakan tas sang ustaz. Ustaz Alif memperbaiki dan mengencangkan posisi peci di kepalanya sebelum mengenakan helm dan menaiki motor Mas Yani. Sesaat kemudian, keduanya sudah dalam perjalanan menuju Terminal Sunggingan. Dalam perjalanan yang memakan waktu sekira lima belas menit tersebut, Ustaz Alif mengisinya dengan berdoa dan berdzikir untuk keselamatan dirinya dan Rini, putri bungsu tercintanya, serta keluarganya di Jogja. Sesekali beliau memikirkan bagaimana Rini dan anak-anaknya akan bereaksi ketika melihat dirinya. Perasaan gugup, takut, senang dan cemas muncul dan membuat beliau merasa mual seketika.

Lima belas menit berlalu, keduanya sudah mulai melihat gapura Terminal Sunggingan. Mas Yani menghentikan laju motornya di dekat konter-konter pembelian tiket bus. Ia segera membantu Ustaz Alif untuk turun dengan sempurna dari motornya lalu menyerahkan tas jinjing beliau yang digantungnya di badan motor dekat jok pengemudi.

Matur nuwun, lho, Mas Yani. Terima kasih sudah diantarkan sampai terminal. Mas Yani nomernya masih yang lama, to?” ucap Ustaz Alif dengan pelan dan dalam nada lembut namun sekuat tenaga.

Nggih, Ustaz.. Masih yang lama, Ustaz. Panjenengan kalau mau minta dijemput nanti telepon saya saja,” sambung Mas Yani.

Panjenengan sampai di Jombor dijemput Mba Rini, nggih?” tanya Mas Yani.

“Iya, iya.. Nanti tak telepon Rini dulu sampai sana,” jawab Ustaz Alif yang terdengar ragu dengan kilasan ekspresi panik di air mukanya.

Tak lama, Mas Yani pamit setelah meyakinkan Ustaz Alif bahwa beliau dapat meneleponnya sewaktu-waktu jika beliau membutuhkan bantuannya. Ustaz Alif kemudian beranjak menaiki tangga menuju konter pembelian tiket dan memandangi papan yang tergantung di atas konter kedua dari kanan. Kedua mata sayunya menelusuri baris demi baris tulisan; mencari kata „Boyolali‟ dan „Jogja‟ dan segera menemukannya di bagian bawah papan.

Nuwun sewu, Mbak, kalau turun Jogja berapa, nggih?” tanya Ustaz Alif pada perempuan penjaga konter yang perawakan tubuhnya yang cukup kecil menyiratkan dirinya masih berusia sekira 17–20 tahun.

“Turun Jombor lima belas ribu rupiah, Pak. Bapaknya beli berapa tiket?” ucapnya dengan ramah dan merdu.

“Lima belas ribu, ya? Satu tiket saja. Berangkat yang jam 10, to, Mbak?,” balas Ustaz Alif sembari mengeluarkan dompetnya dan menyerahkan uang sepuluh ribuan dan lima ribuan masing-masing selembar.

Nggih, Pak, jam 10. Satu tiket Boyolali-Jogja jam 10 pagi, armadanya yang paling depan ini, ya, Pak,” kata sang penjaga konter sambil menunjuk armada bus kuning-oranye terdekat yang diparkir paling depan sembari menyerahkan selembar tiket kecil berwarna putih dan bercap tanggal hari ini: [20–08–2016]. Ustaz Alif segera menerima tiket tersebut dan mengucapkan terima kasih.

Ustaz Alif berjalan menurun anak tangga di samping kanannya untuk menuju bus yang dimaksud oleh si penjaga konter. Sesampainya di pintu bus, Ustaz Alif segera dibantu kenek untuk kembali menaiki beberapa tangga di pintu bus.

“Hati-hati, Pak.. satu-satu naiknya,” seru sang kenek sambil memegangi lengan kiri Ustaz Alif dari anak tangga paling atas. Lagi-lagi, Ustaz Alif mengucap terima kasih kepada satu dari sederet manusia yang telah berbesar hati membantunya bertemu Rini hari ini.

Ustaz Alif mengambil kursi dekat jendela di baris kedua sisi kanan. Selang lima menit, seorang ibu berfigur cukup tambun yang menggendong bayi laki-lakinya dengan selendang batik bermotif kawung, dengan napas terengah-engah, mengambil kursi di sebelahnya. Tepat setelah ia duduk, bus langsung melaju. Perjalanan menuju Terminal Jombor dilalui Ustaz Alif selama 2,5 jam dalam bus yang hampir penuh terisi. Akibat kelelahan dan perasaan gugupnya sejak pagi, Ustaz Alif mulai tertidur pada 30 menit awal perjalanan setelah menyerahkan tiketnya pada kenek bus — tak menghiraukan rengekan dan tangisan batita di sampingnya semenjak bus mulai berjalan. Walaupun tanpa hasil, sang ibu tak pernah berhenti menenangkannya — dengan satu tangan menyangga botol susu di mulut putra kecilnya — di sepanjang perjalanan.

Bus mulai mendekati gapura Terminal Jombor yang selalu ramai oleh lalu lalang bus berikut para penumpangnya. Setelah parkir dengan sempurna, kenek bus tersebut mengajak para penumpang untuk turun satu per satu; Ustaz Alif segera terbangun ketika mendengar seruan benada ceria dari sang kenek. Ia membantu hampir seluruh penumpang untuk menuruni anak tangga bus, termasuk sang ibu dan anaknya. Sang kenek kemudian memperhatikan raut wajah Ustaz Alif yang terkejut ketika sudah sampai di Jombor.

“Pak, monggo, saya bantu turun..” sapa sang kenek sambil mengulurkan tangan kanannya. Ustaz Alif segera mengangkat tas yang dipangkunya sembari berdiri perlahan dan turun bersama sang kenek. Sesampainya di anak tangga terakhir, Ustaz Alif kembali mengulang ucapan terima kasihnya dan berpisah dengan kenek bus tersebut.

Ustaz Alif berjalan beberapa langkah dari tempat bus diparkir dan berhenti untuk mengeluarkan ponselnya. Di bawah naungan kanopi halte bus, beliau memeriksa — dengan kedua mata begitu dekat dengan layar ponsel — apakah sudah ada balasan dari pesannya pada Rini atau panggilan masuk yang terlewatkan. Hasilnya, nihil. Ustaz Alif memilih untuk terus berjalan menuju gapura terminal setelah mengeluarkan secarik kertas yang disiapkannya dari rumah, berniat menanyakan alamat Rini pada siapapun yang dilewatinya.

Sepuluh langkah di belakang gapura, Ustaz Alif menemukan sosok ibu dengan anak laki-lakinya di bus yang terlihat sedang berdiri menunggu. Beliau kemudian mempercepat langkahnya menuju keduanya. Rupanya, putranya tersebut telah tertidur pulas.

“Bu, nuwun sewu. Ibu tadi pinarak di samping saya, nggih?” tanya Ustaz Alif dengan hati-hati.

“Oh, nggih, Pak. Pripun, Pak? Barang saya ada yang ketinggalan, ya?” ujar sang ibu dengan supel sekaligus waswas.

“Oh, mboten, Bu.. Mboten. Saya numpang tanya, tahu alamat ini, ndak, ya?” Ustaz Alif menyodorkan kertas bertuliskan „warung nasi rames mas anto jl. bumijo no. 11‟ dalam tulisan tangan yang cukup kacau dan huruf-hurufnya tak sejajar.

Lha, ini dekat, Pak. Daerah Tugu. Kalau dari sini, ya, ndak ada setengah jam sampai. Bapak naik ojek saja nanti, kan, lebih cepat sampainya.” balas sang ibu. Ustaz Alif semakin panik dan kebingungan mendengar balasan sang ibu.

Bapaknya baru pertama ke sini, to? Tak pesankan ojek online saja, gimana, Pak? Kalau ojek online, kan, murah dan cepat datangnya. Rame ojek, Pak, soalnya di sini.”

“Sini tak pesankan..” tanpa diminta, sang ibu segera membuka ponselnya dan mengetikkan alamat yang tertulis di kertas. Sambil menunjukkan langkah-langkahnya di ponsel pada Ustaz Alif, sang ibu menanyakan nama Ustaz Alif dan berbincang-bincang dengannya — menceritakan bahwa dirinya sedang menunggu jemputan suaminya yang merupakan warga asli Jogja. Mesin GPS dalam aplikasi ojek daring tersebut, pada awalnya, tidak menemukan situs warung nasi rames yang dimaksud sehingga sang ibu memutuskan untuk mengetikkan alamat di mana warung tersebut berada. Tak sampai sepuluh menit, seorang pengemudi ojek datang untuk menjemput Ustaz Alif.

“Bu, matur nuwun sudah dibantu, nggih. Saya utang budi dengan panjenengan.. semoga Ibu dan putranya sehat-sehat dan selalu dalam lindungan Allah swt. Saya berangkat sekarang, pripun?” dengan separuh badan membungkuk di depan sang ibu, Ustaz Alif berterima kasih pada sang ibu.

Monggo, monggo, Pak. Suami saya sudah mau sampai kok ini. Nanti ongkosnya sepuluh ribu saja. Hati-hati, Pak,” sambung sang ibu dengan senyum lebar. Ustaz Alif pun segera berangkat setelah mendapatkan restu dari yang menolongnya.

Perjalanan penuh kegugupan, rasa syukur, dan luapan kegembiraan dalam diri Ustaz Alif — seorang bapak yang telah dua tahun tidak menyentuh putri tercintanya — dilalui dalam waktu yang cukup singkat, tak lebih dari dua puluh menit. Kendati demikian, pengemudi ojek sempat mengaku tak bisa menemukan warung yang dimaksud Ustaz Alif ketika mendekati titik lokasi yang dituju. Selama lima menit, keduanya berputar-putar di gang-gang sekitar Bumijo, mencari spanduk bertuliskan „Warung Nasi Rames Mas Anto‟ yang diyakini Ustaz Alif mengisyaratkan keberadaan warung sekaligus rumah anak dan menantunya. Akhirnya, keduanya sepakat untuk berhenti di depan rumah berukuran sedang yang tak berpagar dan berhalaman parkir cukup luas. Tembok rendah yang menopang kaki-kaki kanopi di atas halaman parkir rumah tersebut ditandai angka sebelas berwarna hitam dari Pylox yang sudah pudar. Di samping kanan bangunan utama rumah yang bernuansa putih tersebut, terdapat ruang memanjang ke belakang yang terbuka di sisi depan. Di pelatarannya, terpajang etalase kaca kosong yang kerap ditemui di warung-warung makan pinggir jalan serta beberapa meja tanpa kursi yang ditumpuk di salah satu ujung ruangan — tak ada juga spanduk yang dicari-cari sang ustaz sedari tadi.

Setelah Ustaz Alif turun dan membayar ongkos pada sang pengemudi, beliau terdiam memandangi rumah nomor sebelas di hadapannya — setengah ragu dengan rumah yang seakan tak bernyawa di depan matanya. Ketika berjalan masuk, beliau beberapa kali meneriakkan “Assalamualaikum” dengan lirih di depan pintu rumah tersebut dengan sia-sia. Masih berdiri, beliau kemudian menarik ponselnya dari dalam tas dan memanggil nomor Rini untuk pertama kalinya hari ini. Panggilan pertama tak terbalas. Panggilan keduanya pun masih sama. Beliau menelepon untuk ketiga kalinya dan tak menelepon kembali setelah panggilan yang tersambung ke nomor Rini tersebut tetap tidak diangkat oleh anaknya. Ustaz Alif lalu berjalan keluar pelataran rumah tersebut; hendak mencari masjid terdekat untuk menunaikan salat Zuhur.

Setelah berjalan ke arah barat sejauh 200 meter, beliau menemukan masjid di kiri jalan dan menghentikan perjalanannya. Di sana, beliau segera mengambil air wudhu dan mendirikan salat Zuhur yang ditutup dengan doa panjang guna memohon kemudahan dari Allah swt. untuk bertemu anaknya siang ini. Usai sujud syukur, beliau menyingkir dari saf

tengah untuk bersandar di dinding sejenak. Ustaz Alif memejamkan matanya yang kuyu dan tak sadar tertidur sambil bersimpuh hingga azan salat Ashar membangunkannya kembali. Beliau kemudian segera bersiap menunaikan salat Ashar berjamaah dengan beberapa makmum laki-laki yang telah mengisi saf terdepan. Selepas salat Asar, beliau melanjutkan dengan membaca surah Ar-Rahman dan Al-Kahfi menggunakan Qur‟an yang telah dibawanya dari rumah.

Jam dinding di atas mimbar masjid tersebut menunjukkan pukul 16.20 ketika Ustaz Alif mengakhiri tadarusnya. Beliau bangkit dari posisi duduknya serta merapikan barang-barangnya. Sudah berjam-jam menahan lapar, Ustaz Alif kini memutuskan untuk mencari warung makan di daerah tersebut. Beliau berjalan keluar ke arah timur hingga mencapai mulut gang di mana warung-warung makan bertebaran di sisi kiri dan kanan jalan. Di antara deretan warung di sisi kanan jalan, beliau menjatuhkan pilihannya pada warung nasi liwet lesehan beratapkan terpal oranye yang cukup ramai — menandakan menu yang dijajakan relatif murah dan enak.

Setelah memesan satu piring nasi liwet dan teh panas, Ustaz Alif mengambil tempat duduk tak jauh dari dua pemuda yang mengenakan pakaian serba hitam yang telah menyelesaikan makanannya — satu pemuda nampaknya beretnis Jawa sedangkan yang lain dari etnis Tionghoa. Beliau kemudian mencondongkan tubuh ke arah keduanya dan memberanikan diri untuk bertanya.

“Yang meninggal sinten, Mas?” tanya Ustaz Alif yang dibalas dengan tatapan canggung dari keduanya.

“Oh, bukan meninggal, Pak. Ini untuk aksi Kamisan sore ini di Tugu,” jawab pemuda pertama dengan tersenyum tipis.

“Aksi Kamisan untuk apa, ya? Saya ndak tahu itu masih ada sampai sekarang..” ucap Ustaz Alif dengan jujur.

“Masih, Pak, sampai sekarang.. Nggak hanya di Jakarta, saat ini, sudah banyak juga di kota-kota besar lain, seperti Jogja, Pak,” sambung pemuda yang lain.

“Itu masih protes-protes untuk orang hilang tahun ‟98, bukan, Mas? Kalau sekarang apa masih dibahas itu? Kan sudah lama, ya..” tanya Ustaz Alif yang masih penasaran mengapa Kamisan masih diadakan.

“Masih, Pak, sebenarnya. Perkara aktivis-aktivis tahun ‟98 yang hilang dan kasus-kasus HAM lain di zaman Soeharto sampai Jokowi itu dibahas dalam aksi-aksi ini, Pak. Kalau di Tugu juga sering diadakan aksi ini sama mahasiswa-mahasiswa,” balas pemuda yang sama.

“Masyaallah.. Anak-anak muda memang luar biasa zaman sekarang,” ungkap Ustaz

Alif.

“Iya, Pak.. Alhamdulillah. Bapak ini datang ke Tugu untuk wisata atau gimana, Pak?” tanya pemuda pertama dengan hati-hati karena tak yakin. Tepat pada saat itu, nasi liwet dan teh panas pesanan Ustaz Alif datang. Menanggapi pertanyaan tersebut, wajah Ustaz Alif mendadak berubah kian layu dari sebelumnya.

“Saya nyari anak saya, Mas. Sudah dua tahun ndak ketemu. Dia tinggal di sini sama suami dan anak-anak; saya di kampung di Boyolali, Mas.”

Masnya tahu WA itu, Mas? WA yang bisa untuk telepon juga, ya?” tanya Ustaz Alif tiba-tiba.

“Whatsapp? Tahu, Pak.. Putri Bapak sudah dihubungi lewat Whatsapp?” tanya pemuda kedua yang disusul dengan keheningan sejenak dari Ustaz Alif.

“Cara bukanya… gimana, ya, Mas?” tanya Ustaz Alif dengan putus asa sambil mengeluarkan ponsel dari tasnya lalu menyodorkannya dengan kedua tangan ke arah para pemuda tersebut. Selanjutnya, kedua pemuda tersebut membantu mengunduh aplikasi yang dimaksud dan mengajarkan sekilas bagaimana cara menggunakannya pada Ustaz Alif dengan antusias. Sebelum keduanya pamit pulang, Ustaz Alif memohon bantuan keduanya untuk menuliskan pesan pada Rini yang berbunyi,

“Assalamualaikum, nduk. Bapak sudah sampai Jogja. Bapak sdh ke warungnya Mas Anto mau ketemu kamu dan anak-anak. Wassalam.”

Ustaz Alif menyampaikan terima kasihnya kepada kedua pemuda tersebut dan segera menghabiskan makanannya. Azan Maghrib, tak lama kemudian, bergema dari berbagai masjid di sekitar Tugu secara bersamaan — sekali lagi membawa Ustaz Alif ke masjid sebelumnya untuk menunaikan kewajibannya.

Sehabis salat Maghrib, Ustaz Alif sekali lagi memanjatkan doa yang sama dengan khidmat pada Sang Maha Kuasa sambil memejamkan matanya; menahan jatuhnya air mata ketakutan akan apa yang terjadi selanjutnya. Sujud syukurnya pun diperpanjang dari salat-salat sebelumnya. Usai seluruhnya, beliau berdiri tegak dan mengambil ponselnya dari tas dengan tangan yang gemetar. Kali ini, beliau memeriksa aplikasi Whatsapp dengan mengikuti langkah-langkah yang telah diajarkan kedua pemuda yang ditemuinya dan menemui nama Rini muncul di kolom teratas obrolan. Rini ternyata telah membalas pesan bapaknya.

“Assalamualaikum, Pak. Rini dan Mas Anton sdh pindah jauh dari warung yang dulu, maaf blm sempat ngabari Bapak. Bapak sekarang pulang dulu saja, besok-besok biar Rini yang ke kampung. Wassalam”

Seketika, Ustaz Alif kehilangan seluruh kekuatannya untuk berdiri tegak dan hanya dapat terpaku memandangi layar ponsel di tangan kanannya. Ustaz Alif hanya mampu menitikkan air mata membaca pesan singkat putrinya yang bahkan tidak sudi mengabari di mana dirinya tinggal saat ini bersama suami dan anak-anaknya.

Ustaz Alif berjalan keluar dari masjid tempatnya singgah dan beribadah hari ini sembari berdoa, berdoa, dan berdoa. Dengan kepasrahan, beliau mendoakan agar anak, menantu, dan cucu-cucunya dilimpahkan kesehatan dan keselamatan dunia-akhirat dan terus berjalan hingga pulang dengan menumpang tanya pada siapapun yang dijumpainya.

--

--